Bangkok--20 Apr--OHCHR-Bangkok
Kebijakan Indonesia yang sukses dalam meningkatkan produksi beras harus dikaitkan dengan pemenuhan kewajibannya terhadap hak atas pangan untuk semua, ungkap Hilal Elver, Pelapor Khusus PBB untuk hak atas pangan.
"Indonesia telah tumbuh sebagai salah satu eksportir komoditas pertanian dan ikan terkemuka. Kelihatannya seolah-olah ada banyak makanan di Indonesia," kata sang ahli PBB dalam sebuah pernyataan di akhir kunjungan 10 hari ke negara itu.
"Tapi apa yang mengejutkan saya adalah ironi bahwa di suatu negara penghasil makanan terkemuka, 30 persen anak-anak mengalami pertumbuhan yang terhambat, dan lebih dari 92% penduduknya makan buah dan sayuran jauh lebih sedikit daripada tingkat yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ini menandakan bahwa: makanan bukan hanya tentang kuantitas tetapi juga tentang kualitas, aksesibilitas, dan keterjangkauan. Orang-orang yang tinggal di daerah terpencil memiliki akses terbatas terhadap makanan sehat, dan penduduk miskin di perkotaan tidak mampu membeli buah dan sayuran, yang harganya sangat mahal," tambahnya.
Pelapor Khusus mencatat bahwa Indonesia berurusan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi makanan pokok yang berlebihan seperti beras dan jagung, serta pola makan yang tidak mengandung cukup buah dan sayuran. Ia mengakui bahwa Pemerintah telah menanggapi masalah ini dengan mengadopsi kebijakan yang bertujuan mempromosikan ketahanan pangan dan menjadikan gizi sebagai prioritas. Namun dia mengatakan, subsidi untuk mencapai swasembada beras tidak membantu mengkampanyekan pola makan yang lebih beragam dan sehat.
"Saya memuji upaya Pemerintah dan mendorong Pemerintah untuk mengambil pendekatan holistik terhadap kebijakan pangannya sambil mengadopsi pendekatan berbasis hak asasi manusia untuk ketahanan pangan. Juga harus meningkatkan kebijakan pangan dan nutrisi dengan memastikan akses terhadap pangan - secara ekonomi dan fisik, ketersediaan dan kecukupan pangan berkualitas, sambil menghapus akar penyebab kerentanan pangan termasuk kemiskinan. Pemerintah harus memberi perhatian ekstra kepada orang-orang yang tinggal di daerah terpencil, menyoroti penderitaan masyarakat yang tidak memiliki lahan dan orang-orang yang hidup dalam kemiskinan," tegas sang pakar.
Meskipun urbanisasi berjalan dengan cepat, mayoritas orang Indonesia, terutama petani, nelayan dan masyarakat adat serta pekebun tinggal di daerah yang seringkali memiliki akses sangat terbatas ke berbagai makanan, yang diperlukan untuk pola makan yang sehat.
Pakar PBB ini menjelaskan bahwa Pemerintah menghadapi sejumlah tantangan terkait penerapan hak atas pangan. Di antaranya termasuk konflik kepemilikan lahan sebagai akibat dari akuisisi lahan dan air berskala besar, serta masalah yang timbul dari legalisasi penguasaan lahan tradisional, sementara masyarakat nelayan menjadi lebih rentan karena menipisnya stok ikan dan penangkapan ikan ilegal. Masalah tambahan muncul dari industri minyak sawit dan operasi penambangan, yang melibatkan proyek-proyek pembangunan yang mengancam mata pencaharian penduduk serta menyebabkan pencemaran lingkungan. Indonesia juga terkena dampak negatif perubahan iklim di sepanjang zona pesisirnya yang luas, ia menambahkan.
Ms Elver berkata: "Seorang pejabat Pemerintah mengatakan kepada saya, 'Saya setuju tantangan adalah peluang - peluang untuk peningkatan dan menuju perwujudan penuh hak atas pangan untuk semua orang di Indonesia.' Jadi, saya mendorong Pemerintah untuk memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperbaiki kebijakan pangan dengan cara yang responsif terhadap hak asasi manusia."
Laporan akhir Pelapor Khusus akan dipresentasikan pada sesi Dewan Hak Asasi Manusia PBB mendatang di Jenewa.